Monday, January 07, 2008

Jatuhnya Bulan Rambutan

Aku suka jatuhnya bulan rambutan, begitu kunamakan bulan yang paling buntut. Bukan karna besar dan warnanya, bukan juga karna mereka-mereka itu jatuh karna sukarela. Aku menyukai manisnya udara di sekitar pohon-pohon yang rimbun itu. Jauh menandingi manisnya gulali, jauh memikat dari merdunya seruling bambu, dan sungguh, jauh-jauh lebih menyejukkan dari pagi hari kian membekukan tiap makhluk di perkebunan milik kakek.

Manis itu lengket, katamu. Bisa jadi, mungkin itu juga sebabnya aku mau menunggu sebelas bulan lamanya untuk dekat dengan mereka. Aku menunggu dengan sabar, mengusir puluhan bahkan ratusan ulat pemakan daun pohon kesayanganku itu. Mereka datang setelah hujan berhenti turun, seakan-akan tahu kesedihan selalu mengintai dan kembali menyerbu setelah titik air mata terakhir kuseka.

Pohon-pohon itu meranggas, kehabisan daun untuk menutupi ketelanjangan mereka. Tapi bahkan aroma manisnya masih terasa, tidak menghilang ketika tumpukan daun yang rontok, tempat media berkembang ulat digusur pergi. Itu saat yang aku tahu, yang terus menerus kuingat, manis tidak akan berangsur-angsur asin, lalu kuseka air mata terakhir yang jatuh.